|
Emil Salim |
Di Lahat, sebuah kota kecil di pinggir sungai Lematang, Sumatera Selatan saya masuk sekolah dasar. Di sekeliling kota masih tumbuh hutan lebat. Dan pohon duren tumbuh bebas di pinggir jalan dan dalam hutan. Tiap kali sehabis hujan deras dengan angin kencang, bersama teman-teman kami masuk hutan mencari buah duren yang banyak berjatuhan ditimpa angin.
Pada tiap hari Sabtu guru kelas saya di Sekolah Dasar suka mengajak murid-muridnya berjalan-jalan masuk hutan, di kaki bukit Serelo yang tersohor di daerah. Sambil berjalan di hutan, guru menjelaskan berbagai peranan pacet penghisap darah manusia, yang rupanya juga berguna bagi manusia sebagai penunjuk arah matahari karena sifat kepala pacet selalu mencari kehangatan. Dan dengan mengetahui letak arah matahari, sekaligus kita memiliki kompas alami penunjuk jurus Utara-Timur-Barat-Selatan. Guru juga mengajak muridnya belajar “minum madu” dari sejenis bunga sebagai pengganti air bila kita tersesat. Dan mencari sisa makanan beruk di tanah untuk memperoleh petunjuk jenis buah mana bisa dimakan manusia. Karena apa yang bisa dimakan monyet dapat pula dimakan manusia. Dan sambil bertualang guru bercerita tentang hutan sehingga dalam alam fikiran saya hutan itu menjadi buku pembuka rahasia alam.