Jakarta, Para pendaki gunung seringkali merasa pusing atau mual ketika mencapai ketinggian tertentu. Gejala ini sering disebut penyakit ketinggian. Sebuah penelitian menemukan bahwa meminum pil anti radang beberapa saat sebelum mendaki gunung dapat mencegah gejala gangguan ini.
Para petualang sangat gemar memacu adrenalin dengan olahragai seperti ski, hiking, mendaki gunung atau panjat tebing. Sayangnya, sekitar 25% orang yang mendaki gunung mengalami gejala penyakit akibat ketinggian seperti sakit kepala, mual kelelahan, dan muntah. Gangguan ini disebabkan oleh kekurangan oksigen di daerah dataran tinggi.
Penyakit ketinggian ini tidak hanya mengganggu perjalanan, tetapi juga mengakibatkan konsekuensi yang fatal. Pada beberapa kasus, gangguan ini dapat mengakibatkan pembengkakan otak yang mematikan.
Obat umum tanpa resep dokter bisa membantu mengurangi gejala ini. Obat tersebut adalah ibuprofen, obat anti radang dan penghilang rasa nyeri. Dalam jurnal Annals of Emergency Medicine, peneliti melaporkan temuannya terhadap 86 orang pria dan wanita yang menghabiskan dua hari mendaki White Mountains di California. Pendaki yang diminta meminum ibuprofen memiliki kemungkinan 26% lebih rendah terserang penyakit ketinggian dibandingkan yang hanya meminum placebo.
Dalam penelitian, peserta diminta meminum ibuprofen setelah menginap satu malam di daerah dengan ketinggian di 4.100 kaki atau 1.250 meter di atas permukaan laut, tepatnya di daerah dekat White Mountains, California. Para peserta meminum 1 dosis ibuprofen 600 mg sekitar enam jam sebelum mendaki.
Setelah mencapai ketinggian 11.700 kaki atau sekitar 3.566 meter, peserta meminum 1 dosis ibuprofen 600 mg lagi. Saat mencapai puncak di ketinggian 12.570 kaki atau 3.831 meter, peserta meminum satu dosis ibuprofen lagi. Di puncak, peserta menginap satu malam meminum 1 dosis ibuprofen lagi setelah pagi.
Pada pendaki yang meminum ibuprofen, hanya sebanyak 43% yang mengalami gejala sakit kepala, mual dan pusing. Sedangkan yang meminum plasebo, sebanyak 69% terserang penyakit ketinggian.
"Ada idiom yang mengatakan satu ons pencegahan lebih berharga dari satu pon pengobatan. Idiom ini lebih penting lagi diterapkan dalam kedokteran padang gurun di mana perawatan kesehatan hanya bisa dicapai dalam waktu 1-2 jam perjalanan. Ibuprofen dapat mencegah 26% kasus penyakit ketinggian dan membantu orang yang belum terkena gejalanya untuk tetap aman," kata peneliti, Dr Grant Lipman, asisten profesor pengobatan darurat di Stanford University School of Medicine seperti dilansir Time Healthland, Kamis (22/3/2012).
Lipman menjelaskan, ibuprofen sama ampuhnya dengan obat yang diresepkan untuk mengobati penyakit ketinggian seperti acetazolamide dan deksametason, tetapi tidak memiliki banyak efek samping. Ibuprofen juga lebih cepat bekerja karena hanya membutuhkan sekitar 1 - 2 jam untuk diserap sepenuhnya oleh tubuh. Sedangkan obat untuk penyakit ketinggian yang diresepkan harus diminum 1 hari sebelum naik ke ketinggian.
Pada daerah yang lebih tinggi, tubuh harus menyesuaikan diri dengan penurunan kadar oksigen di udara dan perubahan tekanan udara. Banyak orang meresponnya dengan mengalami pembengkakan ringan di otak. Peneliti percaya bahwa kondisi ini dipicu oleh pelepasan faktor peradangan yang menyebabkan pembuluh darah bocor dan membuat cairan tertimbun di otak. Kondisi ini menyebabkan tekanan di saraf dan menyebabkan sakit kepala dan pusing. Ibuprofen yang notabene adalah obat anti radang, dapat mengurangi pembengkakan ini.
Efek ibuprofen tidak permanen. Lipman merekomendasikan kepada setiap orang yang meminum ibuprofen saat mendaki gunung sebaiknya mulai meminum 600 mg ibuprofen beberapa jam sebelum naik. Obat ini diminum lagi setidaknya 24 jam lagi sebelum melakukan pendakian lain. Jeda ini memberikan waktu bagi tubuh untuk menyesuaikan diri dengan ketinggian yang baru.
Kebanyakan orang yang mengalami penyakit gunung akan terbiasa dengan pertambahan ketinggian dan gejala penyakitnya akan surut. Ibuprofen dapat membantu pendaki untuk menyesuaikan diri dengan perubahan awal ini.
(pah/ir)
Sumber : detikHealth
Tidak ada komentar:
Posting Komentar